Latest News

Minggu, 18 November 2012

Untuk Pertama Kali, Tim Astronom Mengukur Radius Lubang Hitam


Titik tanpa balik; dalam astronomi di kenal sebagai Lubang Hitam — suatu wilayah dalam ruang yang memiliki gravitasi begitu kuat sehingga tak ada satu pun, bahkan cahaya, yang mampu meloloskan diri darinya. Lubang hitam yang besarnya mencapai ribuan kali lipat dari matahari kita mungkin terletak di jantung sebagian besar galaksi. Lubang hitam supermasif ini memiliki kekuatan yang begitu dahsyat sehingga aktivitas di pinggirannya mampu beriak di sepanjang inang galaksinya.
Kini, sebuah tim internasional, yang dipimpin para peneliti dari Observatorium Haystack MIT, untuk pertama kalinya mengukur radius lubang hitam di pusat galaksi jauh – jarak terdekat di mana materi dapat mendekat sebelum akhirnya ditarik ke dalam hitam lubang.
Para astronom menghubungkan antena radio di Hawaii, Arizona dan California untuk membuat arrayteleskop yang disebut “Event Horizon Telescope” (EHT), yang mampu melihat rincian 2.000 kali lebih halus dari apa yang bisa terlihat oleh Hubble Space Telescope. Antena-antena radio ini diaplikasikan pada M87, sebuah galaksi berjarak sekitar 50 juta tahun cahaya dari Bima Sakti. Galaksi M87 merupakan tempat berlabuhnya lubang hitam berukuran 6 miliar kali lebih besar dari matahari kita; dan dengan menggunakan array ini, tim ilmuwan mengamati kilauan materi di dekat tepian lubang hitam - suatu area yang dikenal sebagai “event horizon.”
“Setelah objek jatuh melalui event horizon, objek itu akan hilang selamanya,” kata Shep Doeleman, asisten direktur di Observatorium Haystack MIT dan asosiasi riset di Observatorium Astrofisika Smithsonian. “Itu adalah pintu keluar dari alam semesta kita. Jika Anda berjalan melalui pintu itu, Anda tidak akan kembali.”
Doeleman bersama rekan-rekannya menerbitkan hasil studi ini dalam jurnal Science.
Jet di Tepi Lubang Hitam
Lubang hitam supermasif merupakan objek paling ekstrim yang pernah diprediksi dalam teori gravitasi Albert Einstein – yang mana, menurut Doeleman, “gravitasi sepenuhnya kacau dan meremukkan massa besar ke dalam ruang yang sangat dekat.” Pada tepi lubang hitam, gaya gravitasinya sedemikian kuat hingga menarik segala yang ada di sekelilingnya. Namun, tak semuanya bisa menyeberangi event horizonuntuk menyelip ke dalam lubang hitam. Hasilnya adalah “kemacetan kosmik” di mana gas dan debu membentuk panekuk datar materi yang dikenal sebagai cakram akresi. Cakram materi ini mengorbit di seputar lubang hitam dengan kecepatan yang hampir mencapai kecepatan cahaya, menyuapi lubang hitam dengan material super panas dalam pola makan yang stabil. Seiring waktu, cakram ini dapat menyebabkan lubang hitam berputar ke arah yang sama seiring mengorbitnya material tersebut.
Yang terperangkap dalam aliran spiral itu adalah medan magnet, yang mempercepat laju material panas di sepanjang balok sinar kuat di atas cakram akresi, menghasilkan jet berkecepatan tinggi, diluncurkan oleh lubang hitam dan cakram, ditembakkan keluar melintasi galaksi, memanjang sejauh ratusan ribu cahaya tahun. Jet ini dapat mempengaruhi berbagai proses aktivitas galaksi, termasuk seberapa cepat bintang terbentuk.
Gambar ini, yang dibuat dengan model komputer, menunjukkan bagaimana ekstrimnya gravitasi lubang hitam di M87 mendistorsi penampilan jet di dekat event horizon. Bagian radiasi dari jet dibengkokkan oleh gravitasi ke arah sebuah cincin yang dikenal sebagai ‘bayangan’ lubang hitam. (Kredit: Avery E. Broderick – Institut Perimeter dan Universitas Waterloo)

‘Apakah Einstein benar?’
Sebuah lintasan jet dapat membantu para ilmuwan untuk memahami dinamika lubang hitam dalam wilayah di mana gravitasi lubang hitam itu memiliki kekuatan yang dominan. Doeleman berpendapat bahwa lingkungan yang ekstrim sangat cocok untuk mengkonfirmasi teori relativitas umum Einstein – bisa menjadi deskripsi gravitasi yang definitif di masa sekarang.
“Teori-teori Einstein telah diverifikasi pada kasus-kasus medan gravitasi-rendah, seperti di bumi atau di tata surya,” kata Doeleman. “Tapi belum pernah diverifikasi secara tepat pada satu-satunya tempat di alam semesta di mana teori Einstein mungkin bisa berantakan – yaitu tepat di tepi lubang hitam.”
Berdasarkan teori Einstein, massa lubang hitam dan putarannya menentukan seberapa dekat materi dapat mengorbit sebelum kestabilannya hilang dan jatuh menuju event horizon. Karena jet pada galaksi M87 secara magnetis diluncurkan dari orbit terkecil ini, maka para astronom dapat memperkirakan perputaran lubang hitam melalui pengukuran cermat pada besaran jet saat meninggalkan lubang hitam. Hingga saat ini, belum ada teleskop yang memiliki kekuatan cukup besar yang dibutuhkan untuk pengamatan jenis ini.
Sebuah cakram akresi (oranye) gas dan debu di sekeliling lubang hitam supermasif yang terletak di pusat sebagian besar galaksi. Cakram materi galaktik ini memancarkan balok sinar magnetik (garis merah muda) yang dimuntahkan dari pusat lubang hitam, menarik keluar materi dari kedua ujung pada jet berkekuatan tinggi. (Kredit: NASA dan Ann Field – Space Telescope Science Institute)
“Kita kini berada dalam posisi untuk mengajukan pertanyaan, ‘Apakah Einstein benar?’” kata Doeleman. “Kami dapat mengidentifikasi fitur-fitur dan tanda-tanda alam yang diprediksi dalam teori-teorinya, pada medan gravitasi yang sangat kuat tersebut.”
Tim riset menggunakan teknik yang disebut Very Long Baseline Interferometry, atau VLBI, yaitu menggabungkan data dari antena-antena radio yang saling terpisah ribuan mil. Sinyal dari berbagai antena itu dikumpulkan, menciptakan sebuah “teleskop virtual” dengan kekuatan dalam teleskop tunggal yang sama besarnya dengan jarak di antara antena-antena yang terpisah tersebut. Teknik ini memungkinkan para ilmuwan untuk melihat rincian yang sangat tepat di galaksi jauh.
Dengan menggunakan teknik ini, Doeleman bersama timnya mengukur orbit terdalam cakram akresi menjadi hanya 5,5 kali ukuran event horizon lubang hitam. Berdasarkan hukum fisika, ukuran ini menunjukkan bahwa cakram akresi berputar searah dengan lubang hitam – pengamatan langsung pertama dalam rangka mengkonfirmasi teori tentang bagaimana lubang hitam menembakkan jet dari pusat galaksi.
Tim riset berencana memperluas array teleskop ini, menambah antena radio di Chili, Eropa, Meksiko, Greenland dan Antartika, untuk memperoleh gambar lubang hitam yang lebih rinci di masa yang akan datang.
Christopher Reynolds, profesor astronomi di Universitas Maryland, mengatakan bahwa hasil riset kelompok ini menghadirkan data pengamatan pertama yang nantinya akan membantu para ilmuwan memahami bagaimana jet lubang hitam berperilaku.
“Sifat dasar jet masih misterius,” kata Reynolds. “Banyak astrofisikawan yang menduga bahwa jet ditembakkan oleh putaran lubang hitam … tapi kini, gagasan-gagasan itu sepenuhnya masih berada dalam ranah teori. Pengukuran ini merupakan langkah pertama dalam menempatkan gagasan-gagasan tersebut pada dasar observasional yang tegas.”
Jurnal: Sheperd S. Doeleman, Vincent L. Fish, David E. Schenck, Christopher Beaudoin, Ray Blundell, Geoffrey C. Bower, Avery E. Broderick, Richard Chamberlin, Robert Freund, Per Friberg, Mark A. Gurwell, Paul T. P. Ho, Mareki Honma, Makoto Inoue, Thomas P. Krichbaum, James Lamb, Abraham Loeb, Colin Lonsdale, Daniel P. Marrone, James M. Moran, Tomoaki Oyama, Richard Plambeck, Rurik A. Primiani, Alan E. E. Rogers, Daniel L. Smythe, Jason SooHoo, Peter Strittmatter, Remo P. J. Tilanus, Michael Titus, Jonathan Weintroub, Melvyn Wright, Ken H. Young, Lucy Ziurys. Jet-Launching Structure Resolved Near the Supermassive Black Hole in M87. Science, 2012; DOI: 10.1126/science.1224768


Penelitian Kandungan Gas di Daerah Pasuruan


Dewasa ini eksplorasi sumber energi khususnya minyak bumi dan gas berkembang sangat pesat sejalan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang semakin mendesak. Survey seismik pada seismik pantul dangkal saluran tunggal mengungkapkan keadaan bawah permukaan dasar laut dengan hasilnya yang sangat baik untuk eksplorasi gas biogenik, yaitu memberikan informasi mengenai struktur geometri bawah permukaan dasar laut.
Morfologi dasar laut daerah penyelidikan relatif landai dengan kedalaman laut berkisar antara 2 hingga 25 meter. Kedalaman laut bertambah ke arah bagian timur laut dan mendangkal ke arah bagian barat dan barat daya. Perkiraan perhitungan secara kasar bahwa potensi terukur gas dalam sedimen di Perairan Pasuruan pada sedimen runtunan 1 yang berumur Holosen adalah sebesar 168.820.000 m . Nilai ini berdasarkan luas daerah penyebaran dari sedimen bermuatan gas.

Pengolahan data Seismik Pantul Dangkal

Hasil rekaman seismik pantul dangkal merupakan penampang waktu (Time Section) yang menggambarkan bidang-bidang pantul (reflektor) dari permukaan air laut hingga bawah dasar laut pada kedalaman tertentu.
Hasil analisa laboratorium contoh batuan yang diambil dari dasar laut di perairan Pasuruan dan sekitarnya sangat berguna sekali untuk memperkirakan kecepatan rambat gelombang seismik (seismic velocity) pada sekuen paling atas dalam satuan meter yang akan di tuangkan dalam peta kedalaman sequen (peta Isopah). Panjang lintasan yang telah dilakukan untuk perekaman kondisi bawah dasar laut dengan metoda seismik pantul dangkal ini adalah sepanjang 150 kilometer dengan lintasan utama berarah utara- selatan hampir tegak lurus pantai Pasuruan.
Dalam penelitian ini metoda seismik menggunakan pemancar energi Uniboom yang mempunyai resolusi tinggi dengan kemampuan identifikasi runtunan-runtunan sedimen hingga sekitar 50 meter di bawah dasar laut. Semua posisi ditentukan menggunakan Sistem Satelit Navigasi Terpadu dengan perangkat Magelen M1000/Garmin Survey II yang dilengkapi paket piranti lunak modifikasi PPGL sehingga didapatkan akurasi ketelitiam posisi kurang dari 20 meter. Akusisi atau pengambilan data di lapangan menggunakan peta kerja sekala 1 : 50.000. Perhitungan ketebalan sequen yaitu dengan mengalikan ketebalan sequen dalam satuan waktu (detik) dengan kecepatan rambat gelombang seismik yang diperkirakan dalam satuan meter perdetik (m/sec). Untuk perairan Jawa timur yang tidak memiliki variasi dalam jenis batuannya, maka asumsi kecepatan rambat sinyal akustik pada sedimen lumpur dan pasir (Unit IA) adalah 1600 m/sec, sekuen II (Unit IB) 1650 m/sec, sekuen III (unit IC) 1700 m/sec, dan sekuen IV (unit ID) 1750 m/sec.
Data-data yang perlu diketahui dalam perhitungan kedalaman dan ketebalan adalah :
a. Waktu tempuh gelombang pantul
b. Penentuan skala vertical penampang seismik

Waktu Tempuh Gelombang Pantul

Waktu tempuh gelombang pantul bolak-balik diperoleh dengan cara mengukur jarak vertikal tiap-tiap perlapisan dari hasil rekaman analog seismik. Tahap pertama adalah menarik batas-batas tiap lapisan. Setelah batas perlapisan diketahui maka diukur pula lebar satu sapuan (sweep). Seperti diketahui bahwa penampang seismik yang diperoleh waktu tempuh two way time-nya adalah 250 milidetik. Dari rekaman seismik hasil yang diperoleh merupakan penampang waktu (Time Section). Penampang waktu tersebut menggambarkan waktu tempuh gelombang seismik bolak-balik. Untuk mendapatkan waktu tempuh gelombang bolak-balik, perlu diketahui waktu rata-rata picu (firing rate). Sebagai contoh pada rekaman digunakan firing rate ¼ detik / Sweep. Dengan mengukur jarak vertikal (secara grafis) masing-masing perlapisan, maka waktu tempuh dari permukaan laut hingga batas-batas perlapisan (bidang pantul) dapat diketahui.
Berikut ini akan diberikan cara menentukan waktu tempuh gelombang seismik bolak-balik pada lintasan 1 sweep = 0,25 detik = 250 mili detik. Satu sweep terdiri dari 10 kolom dimana tiap kolom 33 mm. Oleh karena itu lebar 10 kolom = 330 mm (telah diproses) .Dengan mengukur dari permukaan laut hingga mencapai dasar laut, misalkan didapat = 5 mm, Waktu tempuh gelombang bolak-balik (TWT) dari permukaan hingga dasar laut adalah 250 milidetik/330mm x 5 mm = 3,78 mili detik.

Penentuan Skala Vertikal Penampang Seismik

Panjang garis seismic section adalah 250 mili detik (TWT) , karena waktu tempuh gelombang bolak-balik TWT (Two Way Time) sehingga waktu tempuh itu dibagi dua yaitu 250/2 = 125 mili detik.  Karena ada 10 kolom maka125/10 = 12,5 milidetik dengan perbandingan dari panjang tiap marking dan semua kolom, maka 12,5/250 = 0,05 mili detik karena cepat rambat gelombang seismik dalam air adalah 1500 meter / detik, maka 12,5/250 x 1500 = 75 meter dengan Sweep rate ¼ detik / Sweep maka 12,5/250 x 1500 x 0,25 = 18,75 meter karena sapuan ¼ detik / Sweep pada setiap ½ detik ledakan, maka (12,5/250 x 1500 x 0,25)x 2 = 37,5 meter.
Sehingga Skala vertikal untuk kedalaman air adalah 37,5 m pada penampang seismik. Karena dibagi menjadi 3 kolom maka tiap kolom 12,5 meter. Dengan perbandingan (33/ 330 x 1500 x 0,25)/3 = 12,5. Penentuan kedalaman air dapat juga dikoreksi terhadap MSL (Mean Sea Level) dari pengamatan pasang surut laut. Untuk menentukan skala vertikal ketebalan sedimen, maka asumsi kecepatan rambat sinyal akustik diambil 1600 meter / detik. Sehingga dengan cara yang sama, (12,5/250 x 1600 x 0,25)x 2 = 40 meter. Atau (33/330 x 1600 x 0,25)/3 = 13,3 meter.

Saat Galaksi Memangsa Galaksi dan Galaksi-Galaksi Raksasa Saling Bertabrakan


Dengan menggunakan “lensa” gravitasional di ruang angkasa, para astronom Universitas Utah menemukan bahwa pusat galaksi-galaksi terbesar bertumbuh menjadi lebih padat – memberi bukti terjadinya tabrakan dan penggabungan secara berulang-ulang antar galaksi-galaksi raksasa.
“Kami menemukan bahwa selama 6 miliar tahun terakhir, materi yang membentuk galaksi elips raksasa semakin terkonsentrasi ke arah pusat galaksi. Ini merupakan bukti bahwa galaksi besar menabrak galaksi besar lainnya untuk membuat galaksi yang lebih besar,” kata astronom Adam Bolton, penulis utama dalam studi baru ini.
“Penelitian-penelitian paling terbaru sebelumnya telah menunjukkan bahwa galaksi besar bertumbuh dengan cara memangsa galaksi-galaksi yang lebih kecil dalam jumlah banyak,” tambahnya. “Kami menunjukkan bahwa tabrakan besar antar galaksi besar adalah sama pentingnya dengan makanan kecil yang banyak.”
Studi baru ini — yang dipublikasikan dalam The Astrophysical Journal –dikerjakan oleh tim Bolton dari Sloan Digital Sky Survey-III dengan menggunakan teleskop optik selebar 2,5 meter pada Apache Point, N.M., dan Teleskop Ruang Angkasa Hubble yang mengorbiti bumi.
Teleskop-teleskop ini pernah digunakan untuk mengamati dan menganalisa 79 “lensa gravitasional,” yang merupakan galaksi di antara bumi dan galaksi-galaksi yang jaraknya lebih jauh. Gravitasi galaksi lensa berguna dalam membelokkan cahaya yang berasal dari galaksi yang lebih jauh, menciptakan sebuah cincin atau sebagian cincin cahaya di sekitar galaksi lensa.
Ukuran cincin itu digunakan untuk menentukan massa pada setiap galaksi lensa, dan kecepatan bintang-bintangnya digunakan untuk menghitung konsentrasi massa di setiap galaksi lensa.
Bolton mengerjakan penelitian ini bersama dengan para tiga astronom lainnya dari Universitas Utah – peneliti pasca-doktoral Joel Brownstein, mahasiswa pascasarjana Yiping Shu dan sarjana Ryan Arneson -juga bersama para anggota Sloan Digital Sky Survey: Christopher Kochanek dari Universitas Ohio State; David Schlegel dari Lawrence Berkeley National Laboratory; Daniel Eisenstein dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics; David Wake dari Universitas Yale; Natalia Connolly dari Hamilton College, Clinton, NY; Claudia Maraston dari Universitas Portsmouth, Inggris, dan Benjamin Weaver dari Universitas New York.
Makanan besar dan makanan kecil untuk galaksi elips raksasa
Studi baru ini berurusan dengan jenis galaksi-galaksi elips terbesar yang pernah diketahui, masing-masing berisi sekitar 100 milyar bintang. Dengan menghitung “materi gelap” yang tak terlihat, galaksi-galaksi itu mengandung massa sebesar 1 triliun bintang seperti matahari kita.
“Mereka adalah produk akhir dari semua tabrakan dan penggabungan generasi-generasi galaksi sebelumnya, mungkin ratusan tabrakan,” kata Bolton.
Meskipun bukti terbaru dari studi lain menunjukkan bahwa galaksi elips raksasa bertumbuh dengan memangsa galaksi yang jauh lebih kecil, namun simulasi komputer Bolton sebelumnya menunjukkan bahwa tabrakan antar galaksi besar adalah satu-satunya penggabungan galaksi yang mengarah pada meningkatnya kepadatan massa di pusat galaksi elips raksasa.
Ketika sebuah galaksi kecil bergabung dengan yang lebih besar, polanya berbeda. Galaksi kecil terkoyak-koyak oleh gravitasi dari galaksi besar. Bintang-bintang dari galaksi kecil tetap berada di dekat pinggiran galaksi besar, bukan pusatnya.
“Tapi jika Anda memiliki dua galaksi yang kira-kira sebanding dan keduanya berada di jalur tabrakan, maka masing-masing lebih menembus ke pusat satu sama lain, sehingga ada lebih banyak massa yang berakhir di pusat,” kata Bolton.
Penelitian terbaru lainnya menunjukkan bahwa bintang-bintang menyebar lebih luas ke dalam galaksi dari waktu ke waktu, mendukung gagasan bahwa galaksi besar memangsa galaksi-galaksi yang jauh lebih kecil.
“Kami menemukan bahwa galaksi-galaksi itu semakin terkonsentrasi pada massa mereka dari waktu ke waktu meskipun kurang terkonsentrasi pada cahaya yang mereka pancarkan,” kata Bolton.
Bolton meyakini bahwa tabrakan antar galaksi besar menjelaskan bertumbuhnya konsentrasi massa tersebut, sedangkan galaksi yang menelan galaksi-galaksi kecil lebih menjelaskan cahaya bintang yang jaraknya jauh dari pusat galaksi.
“Kedua proses ini penting untuk menjelaskan gambarannya secara keseluruhan,” kata Bolton. “Cara berkembangnya cahaya bintang tidak dapat dijelaskan dengan tabrakan besar, jadi kita benar-benar membutuhkan kedua jenis tabrakan, yaitu tabrakan besar dan kecil — Yang besar dalam jumlah sedikit dan yang kecil dalam jumlah banyak.”
Gambar ini diambil dari Teleskop Ruang Angkasa Hubble, menunjukkan cincin cahaya dari galaksi jauh yang tercipta saat galaksi dekat berada pada latar depan — tidak ditunjukkan dalam gambar ini — bertindak sebagai “lensa gravitasional” untuk membengkokkan cahaya dari galaksi jauh sehingga membentuk cincin cahaya yang dikenal sebagai cincin Einstein. Dalam studi baru, astronom Adam Bolton beserta para kolega mengukur cincin ini untuk menentukan massa dari 79 galaksi lensa yang merupakan galaksi-galaksi elips raksasa. Studi ini menemukan bahwa pusat galaksi-galaksi besar itu semakin memadat dari waktu ke waktu, menjadi bukti terjadinya tabrakan berulang antar galaksi-galaksi raksasa. (Kredit: Joel Brownstein, Universitas Utah, untuk NASA/ESA dan Sloan Digital Sky Survey)
Studi ini juga menunjukkan bahwa tabrakan antar galaksi besar adalah “tabrakan kering” — artinya, galaksi-galaksi yang bertabrakan mengalami kekurangan gas dalam jumlah besar karena sebagian besar gasnya sudah membeku untuk membentuk bintang — dan bahwa galaksi-galaksi yang bertabrakan tidak saling memukul dalam posisi lurus satu sama lain, atau yang diistilah Bolton sebagai “pukulan menyerempet”.
Sloan Bertemu Hubble: Bagaimana Studi Dilakukan
Universitas Utah bergabung pada tahap ketiga Sloan Digital Sky Survey, yang dikenal sebagai SDSS-III, pada tahun 2008. Dengan melibatkan sekitar 20 lembaga riset di seluruh dunia, proyek yang terus berlanjut hingga tahun 2014 ini merupakan upaya internasional dalam memetakan luar angkasa sebagai cara untuk mencari planet-planet raksasa dalam sistem tata surya lain, mempelajari asal usul galaksi dan ekspansi alam semesta, serta menyelidiki materi gelap dan energi gelap misterius yang membentuk sebagian besar alam semesta.
Bolton mengatakan bahwa studi barunya ini “nyaris berkuah” dengan menyertakan sebuah proyek SDSS-III bernama BOSS (Baryon Oscillation Spectrographic Survey). BOSS berupaya dalam mengukur sejarah ekspansi alam semesta dengan presisi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal itu memungkinkan para ilmuwan untuk mempelajari energi gelap yang mempercepat perluasan alam semesta. Alam semesta diyakini hanya terdiri dari 4 persen materi biasa, 24 persen “materi gelap” kasat mata dan 72 persen energi gelap yang belum-terjelaskan.
Selama penelitian BOSS terhadap galaksi-galaksi, komputer yang menganalisis spektrum cahaya yang dipancarkan galaksi mengungkap puluhan lensa gravitasional, yang ditemukan karena tanda-tanda alam dari dua galaksi yang berbeda berada dalam satu garis.
Gambar dari Teleskop Luar Angkasa Hubble ini sama dengan gambar sebelumnya, tapi tidak melalui pengolahan yang sama. Hasilnya, cincin Einstein dari galaksi jauh menjadi kurang tajam, namun galaksi “lensa gravitasional”-nya menjadi terlihat pada bagian tengah gambar. (Kredit: Joel Brownstein, Universitas Utah, untuk NASA/ESA dan Sloan Digital Sky Survey)
Studi Bolton melibatkan 79 lensa gravitasional yang terobservasi dari dua survei:
  • Survei Sloan dan Teleskop Ruang Angkasa Hubble yang mengumpulkan gambar serta spektrum warna pancaran sinar dari galaksi-galaksi tua yang jaraknya relatif dekat — meliputi 57 lensa gravitasional — 1 milyar hingga 3 milyar tahun di masa lalu.
  • Survei lain yang mengidentifikasi 22 lensa di antara galaksi-galaksi muda yang berjarak lebih jauh, dari 4 miliar hingga 6 miliar tahun di masa lalu.
Cincin cahaya di seputar galaksi lensa gravitasional dinamakan “Cincin Einstein” karena Albert Einstein pernah memprediksi efeknya, meskipun Beliau bukanlah orang pertama yang melakukannya.
“Galaksi-galaksi yang lebih jauh mengirimkan sinar cahaya yang berpencar, namun sinar-sinar yang melintas di dekat galaksi yang lebih dekat bisa dibengkokkan menjadi kesatuan sinar cahaya yang tampak oleh kita sebagai cincin cahaya di seputar galaksi dekat,” kata Bolton.
Semakin besar jumlah materi dalam sebuah galaksi lensa, maka semakin besar pula cincinnya. Itu tampaknya berlawanan dengan intuisi, namun massa yang lebih besar memiliki tarikan gravitasi yang cukup untuk membuat jalur lintasan cahaya bintang jauh sedemikian menikung sehingga bisa terlihat oleh pengamat, menciptakan sebuah cincin yang lebih besar.
Jika terdapat lebih banyak materi yang terkonsentrasi di dekat pusat galaksi, bintang-bintang yang lebih cepat akan terlihat bergerak mendekati atau menjauhi pusat galaksi, kata Bolton.
Teori-teori Alternatif
Bolton dan rekan-rekannya mengakui bahwa pengamatan mereka ini dapat dijelaskan dengan teori-teori lain selain gagasan galaksi yang semakin memadatkan pusatnya dari waktu ke waktu:
  • Gas yang runtuh untuk membentuk bintang dapat meningkatkan konsentrasi massa dalam sebuah galaksi. Bolton berpendapat bintang-bintang dalam galaksi tersebut sudah terlalu tua untuk menguatkan penjelasan ini.
  • Gravitasi dari galaksi-galaksi terbesar menanggalkan galaksi-galaksi “satelit” pada pinggirannya, meninggalkan lebih banyak massa yang terkonsentrasi di pusat galaksi satelit. Bolton berpendapat proses tersebut tidak mungkin bisa menghasilkan konsentrasi massa yang telah terobservasi dalam studi baru ini dan menjelaskan bagaimana tingkat massa pusat berkembang dari waktu ke waktu.
  • Para peneliti hanya mendeteksi batas pada tiap galaksi antara wilayah bagian dalam yang didominasi bintang dan wilayah bagian luar, yang didominasi materi gelap kasat mata. Berdasarkan hipotesis ini, tampilan konsentrasi massa galaksi yang berkembang dari waktu ke waktu itu adalah karena adanya suatu kebetulan dalam metode pengukuran dari para peneliti – mereka mengukur galaksi-galaksi muda pada area yang lebih jauh dari pusatnya dan mengukur galaksi-galaksi tua pada area yang lebih dekat dari pusatnya, menghadirkan ilusi konsentrasi massa di pusat galaksi yang bertumbuh dari waktu ke waktu. Bolton berpendapat bahwa perbedaan pengukuran ini terlalu kecil untuk menjelaskan pola yang terobservasi pada kepadatan materi di dalam galaksi-galaksi lensa.
Jurnal: Adam S. Bolton, Joel R. Brownstein, Christopher S. Kochanek, Yiping Shu, David J. Schlegel, Daniel J. Eisenstein, David A. Wake, Natalia Connolly, Claudia Maraston, Ryan A. Arneson, Benjamin A. Weaver. The Boss Emission-Line Lens Survey. II. Investigating Mass-Density Profile Evolution in the Slacs+bells Strong Gravitational Lens Sample. The Astrophysical Journal, 2012; 757 (1): 82 DOI:10.1088/0004-637X/757/1/82



Superposisi: Dalam Mekanika Kuantum, Sebab Bisa Menjadi Akibat, Akibat Menjadi Sebab?

Salah satu konsep paling mengakar dalam dunia sains dan juga dalam kehidupan sehari-hari adalah perihal sebab akibat; gagasan bahwa peristiwa saat ini disebabkan oleh peristiwa di masa lalu dan, pada gilirannya, tindakan menjadi penyebab untuk apa yang akan terjadi di masa depan. Jika peristiwa A adalah penyebab untuk akibat B, maka B tak bisa menjadi penyebab untuk A. Kini, para fisikawan teoritis dari Universitas Wina dan Université Libre de Bruxelles menunjukkan bahwa dalam mekanika kuantum dimungkinkan untuk menciptakan situasi di mana satu peristiwa bisa menjadi keduanya, sebab maupun akibat.
Temuan ini dipublikasikan dalam Nature Communications.
Meski belum diketahui apakah situasi semacam itu bisa ditemukan di alam, kemungkinan bahwa itu bisa terjadi telah lebih jauh mencapai implikasi bagi fondasi mekanika kuantum, kuantum gravitasi dan komputasi kuantum.
Sebuah kerangka kerja bagi mekanika kuantum ini mendemonstrasikan kemungkinan bagi dua agen untuk melakukan tugas komunikasi di mana hal ini mustahil untuk menyebut dengan pasti siapa mempengaruhi siapa (Kredit: Universitas Wina)
Hubungan sebab akibat: Siapa mempengaruhi siapa
Dalam kehidupan sehari-hari dan dalam fisika klasik, peristiwa diatur berdasarkan waktu: Suatu sebab hanya bisa mempengaruhi akibat di masa depannya bukan di masa lalu. Contoh sederhananya, bayangkan seseorang bernama Alice berjalan memasuki sebuah ruangan dan menemukan secarik kertas. Setelah membaca pesan yang tertulis di atas kertas itu, Alice menghapusnya dan menggantinya dengan pesan darinya sendiri. Di waktu yang berbeda, seseorang yang lain, bernama Bob, memasuki ruangan yang sama serta melakukan hal yang sama: membaca isi pesan, menghapusnya dan menulis ulang pesan sendiri ke atas kertas tersebut. Jika Bob memasuki ruangan itu setelah Alice, ia akan mampu membaca apa yang ditulis Alice; namun Alice tak akan punya peluang untuk mengetahui isi pesan dari Bob. Dalam kasus ini, pesan Alice adalah “sebab” dan apa yang dibaca Bob adalah “akibat.” Tiap kali keduanya mengulang prosedur tersebut, hanya satu yang akan mampu membaca apa yang ditulis oleh yang lain. Bahkan sekalipun mereka tidak saling melihat dan tidak mengetahui siapa yang pertama kali memasuki ruangan, mereka bisa menyimpulkannya dari apa yang mereka baca dan tulis di atas kertas. Misalnya, Alice menulis “Alice datang ke sini hari ini,” maka jika Bob membaca pesan tersebut, ia akan tahu bahwa dirinya memasuki ruangan itu sesudah Alice.
Pelanggaran kuantum pada urutan kausal
Selama hukum fisika klasik dimungkinkan, urutan peristiwa adalah bersifat tetap: baik Bob maupun Alice adalah yang pertama yang memasuki ruangan dan meninggalkan pesan untuk yang lain. Namun, ketika mekanika kuantum berperan, gambarannya bisa berubah secara drastis. Berdasarkan mekanika kuantum, objek bisa kehilangan sifat-sifat klasiknya yang sudah terdefinisi dengan baik, seperti misalnya sebuah partikel yang bisa berada di dua lokasi yang berbeda pada saat yang sama. Dalam fisika kuantum ini disebut “superposisi.”
Kini, sebuah tim internasional yang dipimpin oleh fisikawan Caslav Brukner dari Universitas Wina telah menunjukkan bahwa keteraturan sebab kejadian bisa menjadi sebuah superposisi. Apabila – dalam contoh awal – Alice dan Bob memiliki sistem kuantum selain secarik kertas biasa untuk menulis pesan, mereka dapat berakhir dalam situasi di mana masing-masing dapat membaca pesan yang ditulis satu sama lain. Efektifnya, satu situasi memiliki superposisi dari dua situasi: “Alice yang pertama memasuki ruang dan meninggalkan pesan sebelum Bob” dan “Bob yang pertama memasuki ruang dan meninggalkan pesan sebelum Alice.”
“Bagaimanapun juga, superposisi belum dipertimbangkan dalam perumusan standar mekanika kuantum karena teori ini selalu mengasumsikan urutan kausal yang pasti di antara dua peristiwa,” kata Ognyan Oreshkov dari Université Libre de Bruxelles. “Tapi jika kita yakin bahwa mekanika kuantum mengatur semua fenomena, wajar untuk mengharapkan bahwa urutan peristiwa juga bisa menjadi tidak definitif, mirip dengan lokasi sebuah partikel atau kecepatannya,” tambah Fabio Costa dari Universitas Wina.
Hasil studi ini menyodorkan langkah penting menuju pemahaman bahwa urutan kausal yang definitif mungkin tidak menjadi sifat yang wajib di alam. “Tantangan yang sebenarnya adalah mencari tahu di bagian alam mana kita harus mencari superposisi dari urutan kausal,” jelas Caslav Brukner dari kelompok Quantum Optics, Quantum Nanophysics, Quantum Information di Universitas Wina.

Jurnal: Ognyan Oreshkov, Fabio Costa, Caslav Brukner. Quantum correlations with no causal order.Nature Communications, 2012; 3: 1092 DOI: 10.1038/ncomms2076

Tim Ilmuwan Menemukan Bagaimana Keteraturan Tercipta dari Pergerakan Acak Partikel dalam Kosmos


Salah satu misteri yang tak terpecahkan dalam ilmu pengetahuan kontemporer adalah bagaimana struktur-struktur yang sangat terorganisir dapat muncul dari pergerakan partikel yang acak. Hal ini berlaku pada banyak situasi mulai dari objek-objek astrofisika yang membentang selama jutaan tahun cahaya hingga pada lahirnya kehidupan di bumi.
Penemuan mengejutkan akan adanya medan elektromagnetik yang mengorganisir-diri pada gas terionisasi (juga dikenal sebagai plasma) akan memberi cara baru bagi para ilmuwan untuk mengeksplorasi bagaimana keteraturan muncul dari kekacauan di dalam kosmos. Temuan ini dipublikasikan secara online dalam jurnal Nature Physics, 30 September.
“Kami telah membuat sebuah model untuk mengeksplorasi bagaimana medan elektromagnetik membantu mengatur gas terionisasi atau plasma dalam pengaturan astrofisika, seperti dalam arus plasma yang muncul dari bintang-bintang muda,” kata pemimpin penulis Nathan Kugland, seorang peneliti pasca-doktoral pada High Energy Density Science Group di Lawrence Livermore National Laboratory (LLNL). “Medan-medan ini membantu membentuk arus, dan kemungkinan berperan bersama gravitasi dalam mendukung pembentukan sistem tata surya, yang akhirnya dapat mengarah pada terbentuknya planet seperti bumi.”
“Pengamatan ini benar-benar tak terduga, karena plasma bergerak dengan sangat cepat sehingga semestinya mengalir secara bebas melewati satu sama lain,” jelas Hye-Sook Park, pemimpin tim dan fisikawan staf di LLNL. Park menambahkan bahwa “eksperimen-eksperimen plasma laser-pendorong dapat mempelajari mikrofisika dari interaksi plasma dan pembentukan struktur dalam kondisi yang terkendali.”
Mempelajari astrofisika dengan percobaan laboratorium dapat membantu menjawab pertanyaan tentang objek-objek astrofisika yang jauh di luar jangkauan pengukuran langsung. Penelitian ini dilaksanakan sebagai bagian dari kolaborasi internasional, Astrophysical Collisionless Shock Experiments with Lasers (ACSEL), dibawah pimpinan LLNL, Universitas Princeton, Universitas Osaka dan Universitas Oxford, dengan partisapasi dari universitas-univertas lain.
Pekerjaan ini dilakukan di laser OMEGA EP oleh Lawrence Livermore National Laboratory. Dukungan tambahan disediakan oleh program LDRD dan International Collaboration for High Energy Density Science (ICHEDS), didukung oleh Core-to-Core Program dari Japan Society for the Promotion of Science. Penelitian yang mengarah pada hasil mengejutkan ini menerima dana dari Dewan Riset Eropa di bawah Kerangka Program Ketujuh Komunitas Eropa.
Jurnal: N. L. Kugland, D. D. Ryutov, P-Y. Chang, R. P. Drake, G. Fiksel, D. H. Froula, S. H. Glenzer, G. Gregori, M. Grosskopf, M. Koenig, Y. Kuramitsu, C. Kuranz, M. C. Levy, E. Liang, J. Meinecke, F. Miniati, T. Morita, A. Pelka, C. Plechaty, R. Presura, A. Ravasio, B. A. Remington, B. Reville, J. S. Ross, Y. Sakawa, A. Spitkovsky, H. Takabe, H-S. Park. Self-organized electromagnetic field structures in laser-produced counter-streaming plasmas. Nature Physics, 2012; DOI: 10.1038/nphys2434


Pemicu Letusan Gunung Berapi Teridentifikasi


Para ilmuwan telah berhasil mengidentifikasi pemicu berulang ledakan gunung berapi terdahsyat di muka bumi.
Kawah gunung berapi Las Cañadas di Tenerife, Kepulauan Canary, telah menghasilkan setidaknya delapan kali letusan besar sepanjang 700.000 tahun. Peristiwa-peristiwa bencana alam tersebut menciptakan pijar ledakan setinggi lebih dari 25 kilometer dan memuntahkan material awan panas (piroklastik) sejauh 130 kilometer. Bahkan, letusan terkecilnya pun memuntahkan material 25 kali lebih banyak daripada letusan Eyjafjallajökull, Islandia, di tahun 2010.
Dengan menganalisis nodul-nodul kristal (bebatuan beku yang terbentuk dari akumulasi kristal dalam magma) yang ditemukan di dalam endapan piroklastik, para ilmuwan menemukan bahwa percampuran pra-erupsi di dalam ruang magma – di mana magma tua yang lebih dingin bercampur dengan magma muda yang lebih panas – tampaknya menjadi pemicu berulang letusan berskala besar.
Nodul-nodul ini memerangkap dan mempertahankan magma akhir di bawah gunung berapi segera sebelum terjadinya letusan. Dr. Rex Taylor, Dosen Senior Ilmu Kelautan dan Bumi di Universitas Southampton, menyelidiki nodul dan magmanya yang diperangkap untuk melihat penyebab terjadinya letusan. Ia menemukan bahwa nodul-nodul tersebut menyediakan rekaman perubahan-perubahan yang terjadi di sepanjang lorong magma hingga ke saat gunung berapi meletus.
Dr. Taylor mengatakan: “Nodul-nodul ini istimewa karena tercabik-cabik dari ruang magma sebelum akhirnya benar-benar memadat — nodul-nodul ini bersifat lunak, seperti bola pasir yang basah. Tepi-tepi kristal dalam nodul bertumbuh dari magma yang sangat berbeda, menunjukkan adanya peristiwa pencampuran besar-besaran yang terjadi segera sebelum erupsi. Pengadukan magma muda yang panas ke dalam magma tua yang dingin tampaknya menjadi peristiwa yang umum sebelum letusan-letusan besar tersebut terjadi.”
Diagram ini menunjukkan pengembangan berulang pada ruang magma Las Cañadas. (Kredit: Tom Gernon)
Penulis pendamping dalam studi, Dr. Tom Gernon, Dosen Ilmu Kelautan dan Bumi di Universitas Southampton, mengatakan: “Analisis pada nodul-nodul kristal dari gunung berapi tersebut mendokumentasikan proses dan perubahan-perubahan akhir segera sebelum erupsi – yang memicu terjadinya bencana letusan gunung. Keberadaan nodul yang sangat lunak dalam endapan piroklastik menunjukkan bahwa ruang magma mengosongkan diri selama letusan, dan ruang ini kemudian runtuh ke dalam dirinya sendiri membentuk kawah.”
Gunung berapi Las Cañadas merupakan sebuah Volkano Dekade IAVCEI (Asosiasi Internasional Vulkanologi dan Kimiawi Interior Bumi) — yaitu, diidentifikasi oleh masyarakat internasional sebagai layak studi dalam upaya menerangi sejarah letusan-letusannya yang destruktif serta jarak kedekatannya dengan wilayah berpenduduk.
Dalam gambar adalah para mahasiswa Southampton yang tengah menyisir area penelitian di atas gunung berapi Las Cañadas. (Kredit: Barry Marsh)
Dr. Gernon, yang berbasis di Pusat Ilmu Kelautan Nasional kampus Southampton bersama dengan Dr. Taylor, menambahkan: “Temuan kami akan terbukti sangat berharga dalam penilaian masa depan terhadap bahaya dan risiko di Tenerife serta di tempat-tempat lainnya. Skala letusan yang kami deskripsikan ini berpotensi menyebabkan kehancuran di pulau padat penduduk Tenerife dan dampak besar perekonomian bagi masyarakat Eropa yang lebih luas.”
Makalah ini dipublikasikan dalam edisi terbaru jurnal akses terbuka Scientific Reports.
Jurnal: Michael J. Stock, Rex N. Taylor, Thomas M. Gernon. Triggering of major eruptions recorded by actively forming cumulates. Scientific Reports, 2012; 2 DOI: 10.1038/srep00731


Sabtu, 17 November 2012

Sebuah Rahasia dari Terobos Halang Melalui Horizon




Abstrak :
Radiasi Hawking sering divisualisasikan secara intuisi sebagai partikel-pertikel yang telah menerobos (penghalang) horizon. Namun, tidak jelas di mana penghalang yang harus diterobosnya. Kuncinya adalah untuk mengimplementasikan kekekalan energi, sehingga lubang hitam berkontraksi selama proses radiasi. Sebuah konsekuensi langsung adalah spectrum radiasi tidak dapat sepenuhnya termal. Koreksi terhadap spectrum termal merupakan bentuk yang diharapkan dari sifat keuniteran teori kuantum. Ini mungkin saja dapat merupakan sebuah petunjuk untuk teka-teki informasi lubang hitam.

Secara klasik, sebuah lubang hitam adalah penjara yang mutlak, semua yang masuk ke dalamnya pasti akan terkurung, tak ada jalan keluar. Lebih jauh, karena tidak ada yang dapat keluar, sebuah lubang hitam klasik hanya dapat bertambah ‘besar’ seiring berjalannya waktu. Kemudian, pada waktu itu, merupakan sebuah shock bagi fisikawan ketika Hawking menunjukkan bahwa secara mekanika kuantum lubang hitam sebenarnya dapat meradiasikan partikel. Dengan emisi radiasi Hawking ini, lubang hitam dapat kehilangan energi, mengkerut, lantas akhirnya menguap secara total.

Bagaimana ini dapat terjadi? Ketika sebuah objek yang secara klasik adalah stabil (energi tetap, tidak berubah) menjadi secara mekanika kuantum menjadi tak stabil (ada perubahan), maka secara alamiah kita akan memperkirakan yang terjadi adalah terobos halang (tunneling). Jelas, ketika Hawking pertama kali membuktikan keberadaan radiasi lubang hitam, dia menggambarkannya sebagai terobos halang yang dipicu oleh fluktuasi vakum (munculnya partikel dan antipartikel dari sistem dengan energi awal gabungan = nol, vakum) di dekat horizon. Sebelumnya, horizon merupakan sekat antara bagian ‘dalam’ dan ‘luar’ lubang hitam yang mana cahaya tidak dapat keluar dari padanya. Oleh karena itu, kita sebut lubang hitam ini adalah ‘hitam’ karena tidak ada informasi (secara klasik) yang sampai pada pengamat.

Ide Hawking adalah peristiwa produksi pasangan tepat disekitar horizon, dalam maupun luar. Partikel dengan energi positif yang tercipta dari produksi pasangan di dalam horizon akan menerobos halang horizon – meskipun tidak ada lintasan klask yang mungkin, namun secara kuantum hal ini dapat diperbolehkan. Dalam hal ini kita dapat membayangkan antipartikel (dengan energi negatif) yang tertinggal di dalam horizon mengakibatkan total energi lubang hitam berkurang. Kemudian, jika produksi pasangan terjadi tepat di luar horizon, maka antipartikelnya yang masuk ke dalam horizon, dan efeknya dapat kita bayangkan sama saja dengan sebelumnya. Ada partikel yang ‘lari’ menjauhi lubang hitam (inilah radiasi) dan mengakibatkan energi (massa) lubang hitam berkurang.

Namun sayangnya, meskipun gambaran Hawking seperti yang diterangkan di atas, namun penurunan asli mula-mula tidaklah memanfaatkan gambaran ini secara lengkap. Ini cukup ganjil. Untuk memanfaatkan sepenuhnya gambaran ini, kita perlu mengatasi 2 masalah : pertama yaitu teknis, untuk melakukan perhitungan terobos halang, dibutuhkan sistem koordinat yang berkelakuan baik di horizon (tidak ada infinity). Kedua: konseptual, apa penghalang yang harus diterobos?

Biasanya, ketika terobos halang terjadi, terdapat dua daerah klasik yang terpisah yang digabungkan oleh sebuah lintasan dalam waktu imajiner/kompleks. Dalam limit WKB (sebuah istilah aproksimasi dalam kuantum), peluang untuk terobos halang dihubungkan dengan bagian imajiner dari pada aksi (partikel) ketika melewati lintasan yang secara klasik dilarang dengan ungkapan

    G µ exp (-2 Im S)

dengan S merupakan aksi pada lintasan terkait. Namun masalah muncul ketika teknik ini dipakai untuk lubang hitam. Sepertinya, daerah ‘luar’ dan ‘dalam’ horizon ini terpisah dalam jarak nol cm. Katakan sebuah partikel hasil produksi pasangan terpisah secara infinitesimal diluar horizon, namun ia tetap dapat ‘lari’. Bagaimana ini dapat terjadi?

Seperti yang Hawking mula-mula gambarkan, bahwa partikel menerobos horizon, ini memang terjadi. Namun penjelasannya dengan argumen yang sedikit rumit, karena tidak terdapat penghalang yang sebelumnya telah ada (sudah ada dari sononya). Namun, yang terjadi adalah partikel menerobos penghalang yang ia ciptakan sendiri (ingat dalam relativitas, gerak benda ditentukan oleh geometri disekitarnya, geometri ini ditentukan oleh kandungan massa dan momentum sudut dari lubang hitam). Point terpenting yaitu energi harus kekal. Ketika radiasi terjadi, energi/massa lubang hitam berkurang, maka ia makin mengkerut. Pengkerutan ini berdampak pada makin kecilnya radius lubang hitam tersebut. Ukuran kontraksi yang terjadi tentu bergantung pada jumlah energi partikel yang keluar. Makin besar energi keluar, makin besar juga kontraksi yang terjadi. Di sini sudah terlihat bahwa partikel yang keluar itulah yang mendefinisikan penghalang. Namun kita akan lihat ini lebih jelas pada bagian selanjutnya.

Lebih lengkapnya tentu kita sangat butuh teori lengkap kuantum gravitasi di sini (yang sampai sekarang masih jauh dari final). Katakan dalam sudut pandang yang diterima umum, kita butuh mengikut sertakan graviton (medan gauge yang memediasi interaksi gravitasi secara kuantum, seperti foton untuk interaksi elektromagnetik kuantum). Namun karena kita membahas sistem lubang hitam yang simetri bola, maka tidak diperlukan analisis graviton yang memiliki spin 2, karena nanti jadinya tidak algi simetri bola. Yang diperlukan hanyalah parikel spin nol (skalar) sehingga derajat kebebasan yang akan dibahas hanyalah posisi parikel ketika terjadi terobos halang.

Dipersenjatai pandangan ini, kita dapat melakukan perhitungan untuk proses terobos halang dalam radiasi Hawking. Koordinat yang digunakan tentunya bukanlah standar seperti sperti Schwarschild, karena di horizon koordinat ini tidak berkelakuan baik, ada ketidak berhinggaan untuk sector spasial radius, dr. Namun dengan transformasi Painleve (yang menemukan sebuah transformasi sebagai kritik atas relativitas umum di mana singularitas dapat dibuang hanya dengan sebuah trasnformasi koordinat). Elemen garis akibat transformasi ini untuk geometri yang mula-mula Schwarschild adalah

ds2=-(1-2M/r)dt2+2.sqrt(2M/r)dtdr+dr2+r2dX2

dengan dX2 adalah metrik untuk bola 2 dimensi.

Dengan elemen garis ini, kita dapat menghitung aman integral dari aksi partikel (p.dr dengan p=momentum dan dr=infinitesimal radius). Integrasi radius dilakukan dari radius horizon mula-mula sampai pada saat partikel telah keluar, dengan energi E, yaitu dari r=2M ke r=2(M-E). Integral inilah yang analog dengan integral perhitungan probabilitas terobos halang biasa. Jelas bahwa penghalang dalam radiasi Hawking bergantung pada energi partikel keluar, seperti yang pernah disinggung sebelumnya.

Dengan menyamakan exp (-2 Im S) hasil perhitungan terhadap factor Boltzman, exp(E/T) dengan T = temperatur Hawking, maka dapat ditemukan temperatur Hawking seperti yang mula-mula ditemukan dulu.

(tulisan ini merupakan saduran bebas saya dari artikel M. Parikh <http://lanl.arxiv.org/abs/hep-th/0405160>)

By : Haryanto M. Siahaan
SMP St. Aloysius BN, Bandung
www.friendster.com/antoms